Di Indonesia, pemberantasan penyakit tuberkulosis (TB) masih tertinggal jika dibandingkan negara-negara lainnya. Di seluruh dunia, prevalensi TB pada mereka yang tidak terkena HIV/AIDS di tahun 2013 tercatat sebesar 160,2 per 100.000, sementara prevalensi di Indonesia memperlihatkan angka 185,5 per 100.000.
Berdasarkan sebuah penelitian, di Indonesia angka kematian karena TB telah menurun sebesar 2,6 persen per tahun, selama satu dekade terakhir. Sementara secara global, angka kematian karena TB telah menurun sebesar 3,7 persen per tahun. Tahun lalu, sebanyak 108.723 orang Indonesia penderita HIV/AIDS meninggal karena TB. Di dalamnya jumlah pria lebih banyak sebagai korbannya. Secara bersamaan, kematian karena HIV dan TB sangat umum dialami oleh pria di seluruh dunia.
Di seluruh dunia, pengobatan yang lebih dini serta lebih efektif telah membantu mempercepat durasi infeksi TB, tetapi dari hasil penelitian tercatat bahwa semakin dunia bertambah tua, akan semakin tinggi angka kasus dan kematian karena epidemi ini yang akan terjadi. Ditilik dari angka kematian yang terjadi dalam rata-rata usia yang telah tertentu, negara-negara dengan angka kematian tertinggi karena TB adalah negara-negara sub-Sahara di Afrika, yaitu Lesotho, Somalia, dan Burundi.
“Seiring dengan populasi yang semakin tua, tuberkulosis tetap akan menjadi ancaman kesehatan utama,” kata Dokter Nobhojit Roy dari BARC Hospital di India yang juga merupakan co-author dari studi ini. “TB menghadirkan tantangan yang unik di berbagai negara dan wilayah yang berbeda, dan data yang lebih baik akan membantu terciptanya strategi yang efektif dalam menghadapi masalah tersebut,” kata Nobhojit.
Pada tahun 2013, tercatat sebanyak 7,5 juta kasus baru TB di seluruh dunia. Penyakit ini telah menyebabkan 1,4 juta kematian di seluruh dunia.Titik Yulianti tersenyum lebar. Perempuan 25 tahun ini tak bisa menyembunyikan kegirangannya saat ditanya perihal pengobatan penyakit tuberkulosisnya. “Sekarang sudah sehat dong, sudah bersih sejak dua bulan lalu,” katanya di Banyumas, Jawa Tengah, Jumat, 4 April 2014.
Bergulat setengah tahun lebih dengan penyakitnya batuknya itu, ia akhirnya dinyatakan sembuh oleh dokter. Titik merupakan korban kuman Mycobacterium tuberculosis ketiga di komplek rumahnya di Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah. Sebelumnya, kakaknya, Puji Sarono, juga mengalami penyakit serupa.
Puji baru sembuh setelah menjalani pengobatan intensif tuberkulosis selama 6 bulan. Penderita lainnya adalah Sono, tetangga depan rumah mereka yang telah dua tahun lebih mengidap penyakit itu. Dari ketiganya, hanya Sono belum juga membaik. Sono menolak menjalani pengobatan karena obat yang diberikan petugas medis membuatnya mual. “Sudah didatangi orang rumah sakit, tapi tetap saja bandel,” kata Titik. Takut tertular, kini tetangga memilih tak mendekati Sono.
Tuberkulosis, atau disebut dengan TB, merupakan penyakit yang ditularkan melalui udara. Kuman TB dikeluarkan percikan dahak penderita lewat batuk, bersin, meludah, atau berbicara. Jika terjangkit penyakit ini, gejala awalnya berupa batuk berdahak lebih dari tiga minggu, nyeri dada, nafsu makan kurang, dan berat badan melorot. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendesak lebih dari 30 negara, termasuk negara-negara maju, untuk mengenali bahaya lanjutan dari penyakit tuberkulosis dan diminta bersama memberantasnya pada 2050.
Meskipun tuberkulosis (TBC) adalah penyakit yang bisa dicegah dan disembuhkan, WHO merilis masih ada 155 ribu orang terinfeksi setiap tahunnya di 33 negara berkembang. Sebanyak 10 ribu orang di antaranya meninggal dunia. Jumlah kasus TBC yang tercatat pada setiap tahun di beberapa negara, mulai Australia ke Prancis dan Jerman, lalu Selandia Baru ke Amerika Serikat, diperkirakan berjumlah seratus kasus per juta penduduk. WHO menggarisbawahi jutaan orang masih tak sadar telah terinfeksi bakteri basil tuberkulosis, yang dapat ditularkan melalui bersin.
“Jika Anda berbincang dengan masyarakat umum dari negara-negara ini, (mereka pikir) itu adalah penyakit masa lalu yang kini sudah tidak ada lagi,” kata Marco Raviglione, Kepala Program Anti-Tuberkulosis WHO, seperti dilansir Asiaone, Jumat, 4 Juli 2014. Menurut WHO, TBC menjangkiti 1,3 juta jiwa di seluruh dunia pada tahun lalu dan membuat TBC menjadi penyakit mematikan setelah AIDS, yang disebabkan oleh agen infeksi tunggal. Sebanyak 33 negara telah berhasil memerangi TBC karena relatif memiliki tingkat penderita tuberkulosis yang rendah bila dibandingkan dengan Cina, India, negara-negara Eropa Timur, dan Asia Tengah.
“Kami menghitung ada 33 negara yang berhasil mengendalikan TBC dengan jumlah kasus yang rendah dan memungkinkan mereka memberantas penyakit itu. Negara-negara itu harus menunjukkan kepada dunia bahwa kita bisa melakukannya,” kata Raviglione kepada wartawan. Masyarakat yang rentan terhadap penyakit ini adalah mereka yang berada di dalam penjara dan orang-orang dengan kekebalan tubuh yang rendah, termasuk penderita HIV, penderita kurang gizi, penderita diabetes, perokok, dan pecandu alkohol. Semua memiliki risiko tinggi terkena TB. Kekhawatiran utama WHO, mereka yang rentan terkena TBC adalah orang-orang yang kesulitan mendapat akses pelayanan kesehatan.
Raviglione mengatakan adanya “keputusan berani” dari para pemimpin negara bisa menekan jumlah kasus penderita TB pada 2035, dari angka seratus kasus per juta per tahun menjadi sepuluh kasus per juta per tahun. “Karena itu, pada 2050, kita bisa benar-benar menghapus penyakit tuberkulosis, yang berarti kurang dari satu kasus per juta orang setiap tahun,” katanya. Tuberkulosis atau yang lebih dikenal TB merupakan penyakit infeksi saluran pernafasan yang masih menjadi momok menakutkan di kalangan masyarakat Indonesia. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang masih menjadi perhatian dunia, dan hingga saat ini belum ada satu negara pun yang bebas dari TBC.
“TB menular lewat ludah dan dahak ketika si pengidap batuk. Penyebarannya pun sangat mudah yakni melalui udara, “ ujar Dr Telly Kamelia, SpPD dalam seminar “Kenali Batuk dan Terapinya” dalam rangka peringatan Hari TB Sedunia (World TB Day), di Jakarta, Sabtu 29 Maret 2014, melalui keterangan tertulisnya. Jika seseorang terlihat mengidap batuk yang berkepanjangan, Telly mengingatkan, maka orang di sekitarnya harus menjaga jarak atau waspada. Seperti contohnya tidak sembarangan memegang tangan atau barang milik si pengidap TBC. Pasalnya, area tangan dan barang yang biasa dipegang orang tersebut adalah tempat terbanyak bersarangnya kuman TB.
“Karenanya, pengidap harus sadar diri untuk tidak menularkan kepada lingkungan sekitar dengan sering mencuci tangan dan membuang bekas tisu langsung di tempat sampah yang tertutup. Jika batuk tak tertahan, tutuplah mulut dengan lengan baju sehingga kuman tidak berterbangan di udara,” lanjutnya. Dewi Isnaniar, Senior Brand Manager Bisolvon menambahkan Salah satu gejala penyakit TB yang sering dijumpai adalah batuk terus menerus, dan terdapatnya dahak (sputum). Pengobatan TB yang memakan waktu 6-8 bulan pun menimbulkan hambatan baik dari segi biaya maupun kontinuitas mengonsumsi obat.
Untuk itu, pasien TB hendaknya diberikan pendamping. Di Indonesia, pendampingan umumnya dilakukan oleh keluarga atau orang terdekat. Sayangnya, tidak semua pendamping memiliki pengetahuan yang cukup. “Tujuan dari seminar ini agar masyarakat lebih memahami tentang penyakit TB, dan banyak mengatasinya ,” ujar Dewi. Sebuah tim dari Albert Einstein College of Medicine di New York secara kebetulan menemukan bahwa vitamin C dapat membunuh bakteri tuberkulosis. Bakteri tuberkolosis adalah penyebab penyakit tuberkulosis yang menyerang paru-paru
“Aku tak percaya. Kami menemukan bahwa vitamin C membunuh TB,” kata William Jacobs, salah satu dari peneliti di sana mengungkapkannya dalam situs News Max Health edisi 22 Mei 2013. Hasil penelitian ini kemudian diterbitkan dalam Jurnal Nature Communications. Dia menekankan, sejauh ini manfaatnya hanya terlihat dalam laboratorium. “Kami belum tahu apakah itu akan bekerja pada manusia,” ujar Jacobs. “Tapi sebenarnya, penelitian ini pun semula bukan untuk mencari manfaatnya untuk manusia. Ini hanya kebetulan.”
Pada tahun 2011, diyakini ada sekitar 12 juta kasus TB total – 630.000 dari mereka tidak merespon terhadap obat yang paling ampuh (isoniazid dan rifampisin). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sempat mengumumkan keadaan darurat kesehatan global karena TB 20 tahun lalu. Meskipun TB adalah penyebab utama kematian akibat penyakit menular, tingkat kematian TB mengalami penurunan 41 persen pada 1990-2011. Pada 2011, sebanyak 8,7 juta orang menderita TB dan 1,4 juta meninggal dunia, kata WHO. Lebih dari 95 persen kematian akibat TB terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah.TB juga jadi ancama pembunuh bagi ODHA (Orang Dengan HIV Aids).
TBC biasanya diobati dengan antibiotik rutin selama enam bulan. Resistensi (perlawanan) terhadap obat TB terjadi ketika obat gagal membunuh bakteri yang menyebabkan TB. Ini dapat terjadi karena pasien tidak mengikuti dosis yang dianjurkan atau karena obat tidak bekerja. TB juga menular secara langsung dari orang ke orang. Penyembuhan TB membutuhkan sekitar dua tahun pengobatan dengan obat-obatan yang lebih paten (dan lebih mahal). Hal ini menyebabkan efek samping dan tidak memberikan jaminan untuk sembuh.
Oleh sebab itu, ilmuwan berharap ada penelitian lebih lanjut untuk melihat potensi penggunaan vitamin C dalam pengobatan TB. Selain murah, vitamin C mudah didapat dan aman digunakan. “Ini akan menjadi sebuah studi besar,” kata Jacobs